Lelah. Pedih. Dua kata itu dilontarkan seorang teman, menyikapi kondisi sepak bola nasional kini. Desember kelabu. Tim nasional (timnas) senior gagal di Piala AFF 2012, pulang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Kalah 0-2 dari Malaysia di pertandingan terakhir Grup B di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, Indonesia, untuk kesekian kalinya, mengubur mimpi untuk menjadi yang terbaik di kawasan Asia Tenggara. Menyandera Sepak Bola.


Terkini, Andi Mallarangeng menyatakan mundur dari Menteri Pemuda dan Olahraga. Andi mundur hanya beberapa saat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan kalau mantan juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu terbukti dalam kasus Hambalang.

Mundurnya Andi, jelas sangat berdampak bagi proses penyelesaian konflik antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Sebelum mundur, Andi sempat memanggil kedua lubu yang berseteru ke kantornya di kawasan Senayan, Jakarta. Bermodalkan surat FIFA yang ditandatangani sang sekretaris jenderal (Sekjen), Jerome Valcke, Andi meminta kedua belah pihak untuk menyudahi perseteruan. Lewat surat, FIFA memang menekan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Kemenpora), untuk bertindak tegas.

Tapi apa boleh buat, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Permintaan FIFA dianggap angin lalu. PSSI dan KPSI punya alasan masing-masing, dan ini menjadikan kisruh kian riuh. Dan Indonesia terancam sanksi FIFA. Saat MoU di Kuala Lumpur, beberapa pekan silam, salah satu butirnya meminta kedua belah pihak untuk menuntaskan kisruh lewat kongres, paling lama 10 Desember 2012.

Belakangan, PSSI menampik. MoU dianggap tak sesuai statuta. Artinya, jika PSSI menyelenggarakan kongres berdasarkan MoU, itu berarti melabrak statuta. PSSI kemudian menetapkan 10 Desember sebagai hajatan kongres dan ini kongres luar biasa (KLB). Kongres dihelat di Palangkaraya, Kalimantan Barat. PSSI mengundang La Nyalla dan kawan-kawan, namun La Nyalla menolak. KLB dituding tak sesuai MoU. Maka dari itulah, La Nyalla yang berkekuatan 80 voter KLB PSSI Solo 2011 juga menggelar kongres tahunan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (9/12).

Kongres kedua kubu diwarnai buramnya nasib puluhan pemain, baik yang berkompetisi di ISL maupun IPL. Dipicu kematian Diego Mendieta, mantan pemain Persis Solo versi PT Liga Indonesia (Liga), banyak pemain ( ada yang namanya minta dirahasiakan), membeberkan kalau klub yang mereka bela belum melunasi gaji musim lalu, bahkan sampai berbulan-bulan.

Ironisnya, kompetisi musim depan tetap jalan. PT Liga dan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS), dengan mengatasnamakan sepak bola profesional, sama-sama bersiap menggulirkan kompetisi tanpa mau tahu kondisi keuangan klub.

Lupakan kompetisi musim depan! Kita terancam sanksi. Kali ini, menurut saya, FIFA akan bersikap tegas. Sikap PSSI menafikan MoU sangat berisiko.

Apa kata Djohar? “Kami diganggu orang luar, kok justru kami yang dihukum?”. Djohar berharap, FIFA bisa melihat situasi dan kondisi yang sebenarnya. “Karena kami tidak melanggar satu statuta pun,” tegasnya.
Orang luar yang dimaksud Djohar, siapa lagi kalau bukan La Nyalla cs? La Nyalla cs. punya alasan kuat untuk “mengganggu” Djohar. Kata La Nyalla, Djohar-lah pemicu konflik karena mantan wasit nasional itu melanggar statuta dan Kongres PSSI di Bali mengenai peserta kompetisi. Kompetisi tertinggi tak lagi 18 tim, tapi 24. Klub-klub ISL menolak dan memilih hengkang dari PSSI. Dari sini, perseteruan kian memanas, juga meruncing.

Saya tak punya kata-kata yang bagus buat konflik saat ini. Menukil kata-kata teman: Lelah. Pedih.  Hanya itu. Tak lebih.

Sumber :
http://www.supersoccer.co.id